Wednesday, June 3, 2009

Gundukan Pupuk Kandang

Hal-hal tak menyenangkan, seperti duduk di peringkat terbawah di kelas kita, terjadi dalam kehidupan. Hal-hal itu dapat terjadi pada setiap orang. Perbedaan antara orang yang bahagia dengan orang yang tertekan hanyalah pada bagaimana mereka bereaksi terhadap kemalangan.

Bayangkanlah anda baru saja mengalami suatu sore yang indah di pantai bersama seorang teman. Ketika anda kembali ke rumah, anda mendapati gundukan pupuk kandang tepat di depan pintu rumah anda. Ada tiga hal untuk diketahui sehubungan denagn gundukan pupuk kandang ini:
1. Anda tidak memesannya. Ini bukan kesalahan anda.
2. Anda merasa habis akal. Tak ada yang melihat siapa yang menimbunnya disitu, jadi anda tak dapat menelepon pelakunya untuk menyingkirkannya.
3. Pupuk itu kotor dan semerbak memenuhi seluruh rumah anda. Sungguh tak tertahankan.

Pada perumpamaan ini, gundukan pupuk kandang di depan rumah anda melambangkan pengalaman- pengalaman traumatic yang menimpa kita dalam kehidupan. Seperti halnya dengan gundukan pupuk kandang itu, ada tiga hal untuk diketahui sehubungan dengan tragedy dalam kehidupan kita:
1. Kita tak memesannya. Kita berkata, “Kenapa saya?”
2. Kita merasa habis akal. Tak seorang pun, sekalipun teman terbaik kita, dapat menyingkirkannya (meski mereka mencoba).
3. Tragedi itu sangat menyakitkan, penghancur kebahagiaan kita, dan rasa sakit yang ditimbulkannya menghantui sepanjang hidup kita. Sungguh tak tertahankan.


Ada dua cara merespon timpaan gundukan pupuk kandang itu. Cara pertama adalah membawa kotoran itu keman-mana bersama kita. Kita taruh segenggam di saku kita, sebagian di tas kita, dan sebagian lagi di baju kita. Kita bahkan juga manaruhnya di celana panjang kita. Kita dapati, ketika kita membawa kotoran itu kemana-mana, kita kehilangan banyak teman! Bahkan teman- teman terbaik pun tampaknya jadi tak begitu sering lagi dekat- dekat dengan kita.

“Membawa kotoran ke mana- man” adalah perumpamaan untuk keadaan tenggelam dalam depresi, hal- hal negative, atau amarah. Itu adalah sebuah respon terhadap kemalangan yang lumrah dan dapat dimaklumi. Tetapi kita kehilangan banyak teman, karena lumrah dan dapat dimaklumi pula jika teman- teman kita tidak suka berada disamping kita yang selalu merasa depresi. Lagipula, dengan cara ini gundukan kotoran itu sendiri tak menjadi berkurang, tetapi baunya malah bertambah busuk karena makin matang.

Untunglah, ada cara kedua. Ketika kita tertimpa gundukan pupuk kandang, kita menghela napas, dan setelah itu mulai bekerja. Ambil gerobak dorong, garu dan sekop. Kita garu kotoran itu ke gerobak dorong, membawanya ke belakang rumah, dan menguburnya di kebun kita. Memang ini sulit dan melelahkan, tetapi kita tahu tak ada pilihan lain. Kadang, kita hanya mampu mengatasi separuh gerobak saja dalam sehari, namun kita melakukan sesuatu yang menyelesaikan masalah, daripada hanya mengeluh saja dan terbenam dalam depresi. Dari hari ke hari, kita menggaru dan mengubur kotoran itu. Dari hari ke hari, gundukannya menjadi semakin berkurang. Kadang, diperlukan waktu beberapa tahun, namun pagi yang cerah tiba juga ketika gundukan kotoran didepan rumah kita tak berbekas lagi. Selanjutnya, sebuah keajaiban terjadi dibelakang rumah kita. Bunga- bunga di kebun kita bermekaran dengan warna- warni memenuhi semua sudut. Keharuman menyebar sampai ke jalan, sehingga para tetangga dan bahkan orang lewat pun tersenyum bahagia karenanya. Lalu pohon buah yang tumbuh di sudut taman hampir rubuh karena begitu tergelayuti oleh buah- buahnya. Dan buahnya sungguh manis; anda tak dapat membeli buah seperti itu. Ada begitu banyak buah, sehingga kita dapat membaginya dengan para tetangga, bahkan orang- orang yang lewat pun dapat ikut menikmati sedapnya rasa buah ajaib itu.


“Mengubur kotoran” adalah perumpamaan untuk menyambut datangnya tregedi sebagai penyubur bagi kehidupan kita. Itu pekerjaan yang harus kita lakukan sendiri; tak ada yang dapat membantu kita. Namun dengan menguburnya di taman hati kita, dari hari ke hari, gundukan rasa sakit itu akan semakin berkurang. Bisa saja itu membutuhkan beberapa tahun, namun pagi yang cerah akan tiba tatkala kita melihat tak ada lagi r asa sakit didalam hidup kita dan, di dalam hati kita, sebuah keajaiban telah terjadi. Bunga- bunga kebnajikan bermekaran memenuhi seluruh tempat, dan harumnya cinta menyebar sampai jauh, ke para tetangga kita, teman kita, dan bahkan sampai juga ke orang- orang yang tak kita kenal. Lalu pohon kebijaksanaan yang tumbuh di sudut taman hati kita menjadi tergelayut karena saratnya buah pencerahan akan hakikat kehidupan. Kita dapat membagi- bagikan buah- buah yang enak itu denagn gratis, bahkan kepada orang- orang yang tak kita kenal, tanpa sengaja merencanakannya.

Ketika kita telah mengenal rasa sakit yang tragis, pelajarilah pelajaran yang diberikannya, dan tumbuhkanlah taman kita, lalu kita dapat merangkulakn lengan kita dalam tragedy yang dalam dan berkata, “Aku tahu”. Mereka akan tahu bahwa kita telah paham. Belas kasih dimulai. Kita tunjukkan pada mereka gerobak dorong, garu, sekop dan dorongan semangat tanpa batas. Jika kita belum dapat menumbuhkembangkan taman kita sendiri, semua ini tak dapat kita lakukan.
Saya mengenal banyak bhikkhu yang piawai dalam bermeditasi, yang penuh kedamaian, tenang, dan tentram dalam menghadapi kemalangan. Tetapi hanya sedikit diantaranya yang menjadi guru hebat. Saya serting merasa heran, mengapa bisa begitu.


Sekarang menjadi jelas bagi saya bahwa bhikkhu- bhikkhu yang relative tidak banyak kemalangan, yang mempunyai sedikit kotoran untuk dikuburkan, adalah mereka yang tidak menjadi guru- guru hebat. Adalah bhikkhu- bhikkhu yang mengalami kesukaran yang besar, dengan diam menguburkannya, dan datang dengan taman yang subur, adalah mereka yang menjadi guru- guru yang hebat. Mereka semua memiliki kebijaksanaan, ketenangan, dan belas kasih; tetapi hanya mereka yang memiliki kotoran lebih banyaklah yang dapat membaginya kepada dunia. Guru saya, Ajahn Chah, yang bagi saya pribadi adalah menara dari semua guru, pasti memiliki armada truk pengangkut pupuk kandang yang berjejer di depan pintu rumahnya, pada masa- masa awal kehidupannya.

Barangkali pesan moral dari cerita ini adalah, jika anda ingin melayani dunia, jika anda ingin mengikuti jalan belas kasih, maka bila suatu ketika tragedi terjadi dalam hidup anda, anda dapat berkata,”Cihui! Aku dapat banyak pupuk untuk taman saya.”


Sumber: Buku Membuka Pintu Hati oleh Ajahn Brahm

No comments:

Post a Comment