Wednesday, June 3, 2009

Gundukan Pupuk Kandang

Hal-hal tak menyenangkan, seperti duduk di peringkat terbawah di kelas kita, terjadi dalam kehidupan. Hal-hal itu dapat terjadi pada setiap orang. Perbedaan antara orang yang bahagia dengan orang yang tertekan hanyalah pada bagaimana mereka bereaksi terhadap kemalangan.

Bayangkanlah anda baru saja mengalami suatu sore yang indah di pantai bersama seorang teman. Ketika anda kembali ke rumah, anda mendapati gundukan pupuk kandang tepat di depan pintu rumah anda. Ada tiga hal untuk diketahui sehubungan denagn gundukan pupuk kandang ini:
1. Anda tidak memesannya. Ini bukan kesalahan anda.
2. Anda merasa habis akal. Tak ada yang melihat siapa yang menimbunnya disitu, jadi anda tak dapat menelepon pelakunya untuk menyingkirkannya.
3. Pupuk itu kotor dan semerbak memenuhi seluruh rumah anda. Sungguh tak tertahankan.

Pada perumpamaan ini, gundukan pupuk kandang di depan rumah anda melambangkan pengalaman- pengalaman traumatic yang menimpa kita dalam kehidupan. Seperti halnya dengan gundukan pupuk kandang itu, ada tiga hal untuk diketahui sehubungan dengan tragedy dalam kehidupan kita:
1. Kita tak memesannya. Kita berkata, “Kenapa saya?”
2. Kita merasa habis akal. Tak seorang pun, sekalipun teman terbaik kita, dapat menyingkirkannya (meski mereka mencoba).
3. Tragedi itu sangat menyakitkan, penghancur kebahagiaan kita, dan rasa sakit yang ditimbulkannya menghantui sepanjang hidup kita. Sungguh tak tertahankan.


Ada dua cara merespon timpaan gundukan pupuk kandang itu. Cara pertama adalah membawa kotoran itu keman-mana bersama kita. Kita taruh segenggam di saku kita, sebagian di tas kita, dan sebagian lagi di baju kita. Kita bahkan juga manaruhnya di celana panjang kita. Kita dapati, ketika kita membawa kotoran itu kemana-mana, kita kehilangan banyak teman! Bahkan teman- teman terbaik pun tampaknya jadi tak begitu sering lagi dekat- dekat dengan kita.

“Membawa kotoran ke mana- man” adalah perumpamaan untuk keadaan tenggelam dalam depresi, hal- hal negative, atau amarah. Itu adalah sebuah respon terhadap kemalangan yang lumrah dan dapat dimaklumi. Tetapi kita kehilangan banyak teman, karena lumrah dan dapat dimaklumi pula jika teman- teman kita tidak suka berada disamping kita yang selalu merasa depresi. Lagipula, dengan cara ini gundukan kotoran itu sendiri tak menjadi berkurang, tetapi baunya malah bertambah busuk karena makin matang.

Untunglah, ada cara kedua. Ketika kita tertimpa gundukan pupuk kandang, kita menghela napas, dan setelah itu mulai bekerja. Ambil gerobak dorong, garu dan sekop. Kita garu kotoran itu ke gerobak dorong, membawanya ke belakang rumah, dan menguburnya di kebun kita. Memang ini sulit dan melelahkan, tetapi kita tahu tak ada pilihan lain. Kadang, kita hanya mampu mengatasi separuh gerobak saja dalam sehari, namun kita melakukan sesuatu yang menyelesaikan masalah, daripada hanya mengeluh saja dan terbenam dalam depresi. Dari hari ke hari, kita menggaru dan mengubur kotoran itu. Dari hari ke hari, gundukannya menjadi semakin berkurang. Kadang, diperlukan waktu beberapa tahun, namun pagi yang cerah tiba juga ketika gundukan kotoran didepan rumah kita tak berbekas lagi. Selanjutnya, sebuah keajaiban terjadi dibelakang rumah kita. Bunga- bunga di kebun kita bermekaran dengan warna- warni memenuhi semua sudut. Keharuman menyebar sampai ke jalan, sehingga para tetangga dan bahkan orang lewat pun tersenyum bahagia karenanya. Lalu pohon buah yang tumbuh di sudut taman hampir rubuh karena begitu tergelayuti oleh buah- buahnya. Dan buahnya sungguh manis; anda tak dapat membeli buah seperti itu. Ada begitu banyak buah, sehingga kita dapat membaginya dengan para tetangga, bahkan orang- orang yang lewat pun dapat ikut menikmati sedapnya rasa buah ajaib itu.


“Mengubur kotoran” adalah perumpamaan untuk menyambut datangnya tregedi sebagai penyubur bagi kehidupan kita. Itu pekerjaan yang harus kita lakukan sendiri; tak ada yang dapat membantu kita. Namun dengan menguburnya di taman hati kita, dari hari ke hari, gundukan rasa sakit itu akan semakin berkurang. Bisa saja itu membutuhkan beberapa tahun, namun pagi yang cerah akan tiba tatkala kita melihat tak ada lagi r asa sakit didalam hidup kita dan, di dalam hati kita, sebuah keajaiban telah terjadi. Bunga- bunga kebnajikan bermekaran memenuhi seluruh tempat, dan harumnya cinta menyebar sampai jauh, ke para tetangga kita, teman kita, dan bahkan sampai juga ke orang- orang yang tak kita kenal. Lalu pohon kebijaksanaan yang tumbuh di sudut taman hati kita menjadi tergelayut karena saratnya buah pencerahan akan hakikat kehidupan. Kita dapat membagi- bagikan buah- buah yang enak itu denagn gratis, bahkan kepada orang- orang yang tak kita kenal, tanpa sengaja merencanakannya.

Ketika kita telah mengenal rasa sakit yang tragis, pelajarilah pelajaran yang diberikannya, dan tumbuhkanlah taman kita, lalu kita dapat merangkulakn lengan kita dalam tragedy yang dalam dan berkata, “Aku tahu”. Mereka akan tahu bahwa kita telah paham. Belas kasih dimulai. Kita tunjukkan pada mereka gerobak dorong, garu, sekop dan dorongan semangat tanpa batas. Jika kita belum dapat menumbuhkembangkan taman kita sendiri, semua ini tak dapat kita lakukan.
Saya mengenal banyak bhikkhu yang piawai dalam bermeditasi, yang penuh kedamaian, tenang, dan tentram dalam menghadapi kemalangan. Tetapi hanya sedikit diantaranya yang menjadi guru hebat. Saya serting merasa heran, mengapa bisa begitu.


Sekarang menjadi jelas bagi saya bahwa bhikkhu- bhikkhu yang relative tidak banyak kemalangan, yang mempunyai sedikit kotoran untuk dikuburkan, adalah mereka yang tidak menjadi guru- guru hebat. Adalah bhikkhu- bhikkhu yang mengalami kesukaran yang besar, dengan diam menguburkannya, dan datang dengan taman yang subur, adalah mereka yang menjadi guru- guru yang hebat. Mereka semua memiliki kebijaksanaan, ketenangan, dan belas kasih; tetapi hanya mereka yang memiliki kotoran lebih banyaklah yang dapat membaginya kepada dunia. Guru saya, Ajahn Chah, yang bagi saya pribadi adalah menara dari semua guru, pasti memiliki armada truk pengangkut pupuk kandang yang berjejer di depan pintu rumahnya, pada masa- masa awal kehidupannya.

Barangkali pesan moral dari cerita ini adalah, jika anda ingin melayani dunia, jika anda ingin mengikuti jalan belas kasih, maka bila suatu ketika tragedi terjadi dalam hidup anda, anda dapat berkata,”Cihui! Aku dapat banyak pupuk untuk taman saya.”


Sumber: Buku Membuka Pintu Hati oleh Ajahn Brahm

Kenikmatan indera yang harus dihindari

Jika manusia menginginkan kenikmatan-kenikmatan indera, dan kemudian berhasil mendapatkannya, pastilah dia akan merasa terpuaskan karena telah memperoleh apa yang diinginkan oleh makhluk yang tidak kekal.

Tetapi jika manusia yang menginginkan dan mengharapkan kenikmatan-kenikmatan indera itu tidak memperolehnya, maka ia akan menderita bagaikan tertusuk anak panah.

Bila manusia menghindari kenikmatan-kenikmatan indera, sebagaimana dia tidak akan menginjak kepala ular, maka manusia seperti itu akan dapat menaklukkan nafsu ini karena kewaspadaannya.

Manusia yang menginginkan berbagai obyek indera, seperti misalnya: rumah, kebun, emas, uang, kuda, pelayan, handai taulan dan lain-lain, maka emosi yang kuat akan menguasainya, bahaya akan menghimpitnya, dan penderitaan akan mengikutinya bagaikan air yang masuk ke dalam kapal yang karam.

Oleh karenanya, semoga manusia selalu penuh kewaspadaan dan menghindari kenikmatan-kenikmatan indera. Setelah meninggalkannya, hendaknya ia menyeberangi banjir (kekotoran batin) dan –bagaikan menyelamatkan diri dari kapal yang akan karam- menyeberang ke pantai sebelah sana (Nibbāna).

Keajaiban Hidup

Pada suatu hari sepasang suami istri sedang makan bersama di rumahnya. Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk seorang pengemis. Melihat keadaan pengemis itu, si istri merasa terharu dan dia bermaksud hendak memberikan sesuatu. Tetapi sebelumnya sebagai wanita yang patuh kepada suaminya, dia meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya,”Suamiku,bolehkah aku memberi makanan kepada pengemis itu?”
Rupanya suaminya memiliki karakter yang berbeda dengan wanita itu. Dengan suara lantang dan kasar menjawab,”Tidak usah! Usir saja dia, dan tutup kembali pintunya!” Si istri terpaksa tidak memberikan apa-apa kepada pengemis tadi sehingga dia berlalu dengan kecewa.

Pada suatu hari yang naas,perdagangan lelaki itu jatuh bangkrut. Kekayaannya habis dan ia menderita banyak hutang. Selain itu, karena ketidak cocokan sifat dengan istrinya, rumah tangganya menjadi berantakan sehingga terjadilah perceraian.




Tidak lama sesudah masa indahnya bekas istri yang pailit itu menikah lagi dengan seorang pedagang di kota dan hidup berbahagia. Pada suatu ketika wanita itu sedang makan dengan suaminya (yang baru), tiba-tiba ia mendengar pintu rumahnya diketuk orang. Setelah pintunya dibuka ternyata tamu tak diundang itu adalah seorang pengemis yang sangat mengharukan hati wanita itu. Maka wanita itu berkata pada suami,”Wahai suamiku,bolehkah aku memberikan sesuatu kepada pengemis ini?

Suaminya menjawab,:Berikan makan pengemis itu!”

Setelah memberikan makanan kepada pengemis itu istrinya masuk ke dalam rumah sambil menangis. Suaminya dengan perasaan heran bertanya kepadanya,”Mengapa engkau menangis? Apakah engkau menangis karena aku menyuruhmu memberikan daging ayam kepada pengemis itu?”
Wanita itu menggeleng halus,lalu berkata dengan nada sedih,”Wahai suamiku,aku sedih dengan perjalanan takdir yang sungguh menakjubkan hatiku. Tahukah engkau siapa pengemis yang ada di luar itu?....Dia adalah suamiku yang pertama dulu”.
Mendengar keterangan istrinya demikian, sang suami sedikit terkejut, tapi segera berbalik bertanya,”Dan tahukah engkau siapa aku yang menjadi suamimu kini?....Aku adalah dulu pengemis yang diusirnya!”

“MAMA…. MAAFKAN….. “

"Ki... Tolongin mama sebentar dong."
Aku merungut sambil beringsut setengah malas. Beginilah nasib jadi anak satu-satunya di rumah. Sejak bang Edo kuliah di Jakarta, akulah yang jadi tempat mama minta tolong. Biasanya bang Edolah yang mengantar mama ke supermarket, ke -pengajian, atau sekadar membawakan tas mama yang pulang dari kantor. Rajin ya ? Memang begitulah abangku yang satu itu. Sedang aku ? Biasanya aku dengan bandelnya menghindar. Tapi sekarang aku sudah tidak bisa lari lagi.

"Ki, anterin mama ke rumahnya bu Dedi ya ? Ada arisan."
Aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Rasanya malas sekali. Mmm, ini Ma. Kiki mau belajar, nanti ujian." "Yah, Ki. Kan cuma sebentar. Paling dua jam..." "Soalnya bahannya banyak banget, nanti Kiki dapat nilai jelek lagi." "Ya, sudah. Mama pergi sendiri..." Aku menunduk sambil pergi. Rasanya tidak enak melihat sinar kecewa di mata mama.
Memang, sejak papa meninggal, mama makin sering minta ditemani ke mana-mana. Di hari kerja, mama disibukkan dengan urusan kantornya. Di akhir pekan, mama selalu minta ditemani anak-anaknya. Kalau bang Edo sih anak manis. Dia mau saja menuruti keinginan mama. Kalau aku dilarang pergi di akhir pekan, rasanya seperti hukuman. Maklumlah aktivis. Kesempatan ada di rumah tidak terlalu banyak.

Aku masuk ke dalam kamarku dan mulai membuka buku. Sebetulnya aku tidak bohong. Memang akan ada ujian, tapi masih dua minggu lagi. Aku berusaha berkonsentrasi, tapi entah kenapa pikiranku malah melayang-layang. Dari jauh terdengar derum mobil mama menjauh dari rumah. Ada perasaan bersalah yang menyelip di hatiku.

Akhir pekan berikutnya, bang Edo pulang ke Bandung. Aku sih biasa-biasa saja. Tapi, mama senang sekali. Semalam sebelumnya, mama memasakkan semua masakan kesukaan bang Edo. Ah, dasar anak kesayangan. Tapi aku tidak iri. Biarkan saja. Setidaknya akhir pekan ini aku bebas berkeliaran. Tugas jadi pendamping mama diambil alih bang Edo untuk minggu ini.


"Ki, kenapa sih kamu nggak mau nganterin mama ?", tanya bang Edo sambil mencomot sebuah pisang goreng dari atas meja. Aku hanya melirik sekilas dari komik yang sedang aku baca. "Ya, biarin aja. Mama kan udah gede. Pergi sendiri kan juga bisa."
"Masa kamu nggak kasian ? Mama tuh sedih banget lho sama kelakuan kamu."
"Kata siapa ?"
"Mama sendiri yang bilang."
"Kan bisa diantar supir. Masa abang nggak ngerti sih ? Urusanku kan banyak juga."
"Huu... Mana, cuma baca komik gitu !" Aku cuma bisa nyengir tersindir. Tak lama kemudian abang pergi bersama mama.

"Ki, mama minta tolong dong..." Aku menyumpalkan tangan ke telinga. Aduh, mama.... Belum sempat aku menjawab, mama sudah melongok ke dalam kamar. Aku hanya bisa meringis.
"Ki, tolong ambilin berkas kerja mama di bu Joko dong." "Lho, kok bisa ada di bu Joko, Ma ?" "Iya, tadi habis pulang dari kantor, mama mampir dulu ke sana. Kayaknya berkas-berkas itu ketinggalan deh di sana. Soalnya di mobil udah nggak ada. Bisa nggak kamu ambilin ?"

Aku melongo. Rasanya ingin teriak. Kali ini aku benar-benar sibuk ! Besok ada dua tugas yang harus dikumpulkan. Belum lagi sorenya ada ujian akhir. Mana sempat mampir-mampir ke rumah orang ? Mana sudah malam begini... "Aduh, Mama.... Kiki bener-bener sibuk... Besok ada ujian dan tugas-tugas yang harus dikumpulin. Jadi..." "Ya, udah kalo kamu nggak mau.", balas mama dengan ketus. Aku hanya bisa menghembuskan nafas dan kembali mengerjakan tugasku. "...Kamu tuh memang nggak pernah kasihan sama Mama...", bisik mama lirih dengan sedikit terisak. Suara mama sedikit sumbang. Sepertinya mama sedang terkena flu. Aku menatap langit-langit dengan lesu. Dengan lemas akhirnya aku memanggil mama. "Iya deh Ma... biar Kiki yang pergi..."


Gelap. Gelap sekali. Apalagi banyak lampu jalanan yang sudah mati. Jalanan jadi tidak jelas terlihat. Capek rasanya harus berusaha melihat. Itulah sebabnya aku tidak suka menyetir malam-malam. Rumah Bu Joko sebenarnya tidak jauh. Tapi karena sudah malam, palang-palang jalan di kompleks itu sudah diturunkan dan tidak ada penjaganya. Jadinya, aku harus mengambil jalan memutar cukup jauh. Kalau tidak salah, satu- satunya palang yang tidak ditutup ketika malam adalah... Ah, dari sini belok kiri. Ternyata ditutup juga... Aku membaringkan kepalaku di atas kemudi. Rasanya penat sekali. Akhirnya kususuri perumahan itu jalan demi jalan, semuanya terkunci. Setelah setengah jam berputar-putar, barulah aku menemukan jalan masuknya.

Rasanya lega sekali ketika sampai di depan rumah bu Joko. Kutekan belnya sekali, tidak ada jawaban. Dua kali, tetap tidak ada jawaban. Tiga kali, empat kali, hasilnya tetap sama. Aku menunduk lesu. Jangan-jangan sudah tidur... Hampir saja aku berbalik pulang.Tapi kata-kata mama terngiang di kepalaku. "Tolong ya Ki... Soalnya
berkas-berkas itu mau mama pakai untuk presentasi besok pagi." Akhirnya dengan menelan setumpuk rasa malu, kutekan lagi bel rumah mereka sambil mengucapkan salam keras-keras.Dari belakang aku mendengar suara berdehem. Aduh, ada hansip. Aku mengangguk basa-basi. Aduh, mama ! Bikin malu saja !
"Oh, kertas apa ya ?", tanya bu Joko dengan mata setengah mengantuk. Dasternya melambai-lambai kusut. Aku jadi tidak enak sendiri mengganggu malam-malam begini. Menit-menit selanjutnya, kami berdua mencari-cari berkas yang dikatakan mama. Tidak hanya di ruang tamu, tapi juga di ruang tengah, ruang makan dan dapur. Soalnya tadi mama juga mampir di tempat-tempat itu. Ternyata tetap saja hasilnya nihil.

Lalu aku menelepon ke rumah. "Ma, berkasnya nggak ada tuh. Mama simpan di map warna apa ?" "He..he...he...Udah ketemu, Ki. Ternyata sama bi Isah diturunin dari mobil terus ditaruh di meja makan." "Tau gitu kenapa nggak telpon Kiki ! Kiki kan bawa handphone !" "Wah, maaf Ki... Mama nggak tahu kamu bawa handphone. Mama kira..." "Ah, udahlah ! Mama nyusahin Kiki aja !" Aku lantas membanting gagang telepon dengan sedikit kejam berbalik dan menemukan bu Joko menatapku dengan tatapan ngeri. Aku memaksakan sebuah senyum, minta maaf lalu pamit secepatnya.


Setengah ngebut aku memacu mobilku. Hujan rintik-rintik membuat ruang pandangku semakin sempit. Nyaris jam dua belas malam. Hah, dua jam terbuang percuma. Kalau dipakai untuk mengerjakan tugas, mungkin sekarang sudah selesai... Dasar mama ...

Brakkk!!! Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras. Bunyinya seperti kaleng yang robek. Sesaat aku merasa semuanya semakin gelap. Aku tidak bisa lagi membedakan mana atas dan bawah. Sekujur tubuhku seperti dihimpit dari berbagai arah. Sejenak kesadaranku seperti lenyap.

Penduduk sekitar mulai berdatangan. Mereka membantuku keluar dari mobil yang sepertinya ringsek parah. Mataku dibasahi sesuatu. Ketika kusentuh, rasanya lengket. Darah... Tubuhku lebih gemetar karena takut daripada karena sakit.

"Neng, nggak apa-apa neng ?", tanya seseorang. Aku berusaha berdiri walau sempoyongan. Kucoba menggerakkan tangan, kaki, serta mencek apakah semuanya masih ada. Kupejamkan mata dan berusaha mencari sumber sakit. Sepertinya tubuhku baik-baik saja. Tidak ada yang patah. Aku menatap rongsokan mobilku dengan tidak percaya. Ternyata aku menabrak sebuah truk besar yang sedang diparkir di pinggir jalan. Sumpah, aku tidak melihatnya sama sekali tadi !

"Neng, nggak apa-apa ?", ucap seseorang mengulangi pertanyaannya. Aku berusaha menjawab. Tapi yang terasa malah sakit dan darah. Orang di hadapanku lalu mengucap istighfar. Barulah aku sadar apa yang menyebabkannya. Darah segar berlomba mengucur dari mulutku. Lidahku... Aku langsung tak sadarkan diri.


Ketika tersadar, aku sudah berada di rumah sakit. Rasa nyeri mengikuti dan menghajarku tanpa ampun. Air mata menetes dari mataku.Sakit sekali. "Udah, Ki. Jangan banyak bergerak. Dokter bilang kamu butuh banyak istirahat." Aku hanya bisa menatap mata mama yang sembab tanpa bisa menjawab sepatah kata pun. Hanya bisa mengeluarkan suara merintih yang menyedihkan. Mama ikut menangis mendengarnya. Aku hanya bisa mengira-ngira. Dan dokter pun membenarkannya. Kecelakaan itu tidak mencederaiku parah. Tidak ada tulang yang patah, tidak ada luka dalam. Hanya satu, lidahku nyaris putus karena tergigit olehku ketika tabrakan terjadi. Akibatnya aku lidahku harus dijahit.

Sayangnya tidak ada bius yang bisa meredakan sakitnya. Setelah itupun dokter tidak yakin aku bisa berbicara selancar sebelumnya. Tangisku meluber lagi. Yang langsung teringat adalah setumpuk kata-kata dan perilaku kasar yang selama ini kulontarkan pada mama. Walau sepertinya hanya luka ringan, namun sakitnya teramat sangat. Setiap kali jarum disisipkan dan benangnya ditarik, sepertinya nyawaku dirobek dan dikoyak-koyak. Aku hanya bisa melolong tanpa bisa melawan.

Hari-hari selanjutnya betul-betul siksaan. Lupakanlah tentang kuliah, tugas atau ujian. Untuk minum saja aku tersiksa. Aku menjerit-jerit tiap ada benda yang harus melewati mulutku. Agar tubuhku tidak kekurangan cairan, tubuhku dipasangi infus. ku hanya bisa menangis.Karena sakit, dan penyesalan. Selama aku dirawat, mamalah yang dengan telaten menungguiku. Dengan sabar ia membantuku untuk apapun yang aku perlukan.

Kami hanya bisa berkomunikasi lewat sehelai kertas. Berkali-kali aku tuliskan, "Mama, maafkan Kiki..." Mama juga sudah berkali-kali mengatakan telah memaafkan aku. Tapi tetap saja rasa bersalah itu tak kunjung hilang. Aku benar-benar malu. Walau aktif di kegiatan keagamaan, ternyata nilai-nilai itu belum benar-benar mengalir dalam darahku. Aku tersedu-sedu setiap ingat bagaimana cara aku memperlakukan mama. Bagaimana mungkin aku merasa diberatkan dengan permintaannya padahal aku sudah menyusahkannya seumur hidup? Aku benar-benar telah membelakangi nuraniku sendiri.
Kukira penderitaanku berakhir jika sudah diizinkan pulang ke rumah, ternyata belum. Bulan-bulan selanjutnya aku harus berlatih mengucapkan kata-kata yang selama ini mengalir mudah dari bibirku. Kembali lagi mama membimbingku belajar bicara seperti yang ia lakukan ketika aku kecil.

Himpitan penyesalan itu baru hilang ketika kata-kata itu berhasil kuucapkan walau patah-patah. "Mama... Maafkan Kiki..."

Kecakapan adalah hasil dari praktek

Latihan menghasilkan kecakapan. Apapun jika dilakukan terus menerus akan menjadi suatu keahlian.

Alkisah ada seorang panglima yang sangat ahli memanah. Suatu hari ia menunjukkan keahliannya didepan rakyat dengan memanah sasaran-sasaran yang telah disiapkan. Ia berhasil memanah semuanya, tidak ada satupun yang meleset. Melihat pertunjukkan ini, orang-orang bertepuk tangan dan bersorak riang “Panglima hebat…… Panglima hebat….”

Tiba-tiba datanglah kakek penjual minyak, dan berkata, “Panglima memang hebat, tapi itu hanyalah suatu kebiasaan yang dilakukan terus-menerus.”

Mendengar kata-katanya, semua orang terkejut. Seketika suasana menjadi hening. Orang-orang yang tadinya bersorak riang, langsung terdiam.

Pangeran menghampiri orang tua itu, lalu berkata dengan nada menantang, “Jika benar suatu keahlian dapat diperoleh hanya dengan latihan, tolong tunjukkan keahlianmu.”

Orang itu pun menjelaskan bahwa pekerjaannya adalah menjual minyak. Setiap hari ia harus mengisi setiap botol dengan minyak. Pekerjaan itu sudah ia tekuni sejak muda. Sambil menjelaskan ia mendemostrasikan keahliannya menuang minyak ke dalam botol yang ditutup dengan koin berlubang kecil di tengahnya. Hebatnya, tidak ada satu tetes pun yang tumpah. Setelah ia selesai mendemostrasikan keahliannya, orang-orang kembali bersorak-sorai. Panglima yang sejak tadi memperhatikannya menyadari bahwa yang dikatakan orang tua itu benar. Praktik yang dilakukan terus-menerus akan menghasilkan kecakapan.

Keahlian bisa dicapai oleh siapa saja yang mau melakukan latihan secara terus-menerus dan tidak cepat menyerah. Bakat hanyalah salah satu modal, tetapi latihanlah yang menyempurnakannya. Ingat! Tanpa latihan, mereka yang berbakatpun tidak bisa berprestasi. Latihan yang dimaksud tidak hanya latihan fisik tetapi juga latihan cara berpikir. Orang yang selalu berpikir positif dan berkeinginan untuk sukses cenderung memiliki peluang sukses lebih besar daripada mereka yang selalu berpikir negatif dan tidak pernah berpikir tentang kesuksesan.

Ketika Semua Keinginan Saya Terpenuhi

Di dalam tradisi saya, para bhikkhu tidak diperkenankan menerima, memiliki, atau memegang uang, apapun macamnya. Kami ini begitu miskinnya sampai-sampai mengacaukan statistik pemerintah.

Kami hidup sederhana dengan sukarela, hidup dari pemberian bersahaja dari para penyantun awam kami. Bagaimanapun juga, tidak jarang kami mendapatkan tawaran sesuatu yang istimewa.

Saya telah membantu seorang pria Thai yang punya masalah pribadi. Sebagai ungkapan terima kasih, dia berkata kepada saya: “Bhante, saya ingin memberikan sesuatu untuk keperluan pribadi anda. Apa yang bisa saya berikan untuk anda seharga 500 baht?” Adalah lazim untuk menyebutkan jumlah saat mengajukan suatu penawaran, untuk menghindari kesalahpahaman. Karena saya tidak bisa langsung memutuskan apa yang saya inginkan dan di pun dalam keadaan terburu- buru, kami sepakat bahwa saya akan memberitahukan keputusan saya pada kedatangan dia lagi.

Sebelum kejadian itu, saya adalah seorang bhikkhu kecil yang bahagia. Tetapi sekarang saya mulai merenungkan apa saja yang saya inginkan. Saya lalu membuat sebuah daftar. Daftar itu terus bertambah panjang. Segera saja, 500 baht menjadi tidak cukup. Tetapi begitu sulit mencoret sesuatu dari daftar itu.



Keinginan memunculkan dirinya entah dari mana dan memperkokoh diri menjadi kebutuhan yang mutlak. Dan daftar itu terus bertambah. Sekarang, 5000 baht pun tidak cukup!

Melihat apa yang terjadi, saya membuang daftar keinginan itu jauh- jauh. Pada hari berikutnya, saya bilang kepada dermawan saya untuk menyumbangkan saja 500 baht itu untuk pembangunan vihara atau untuk alasan lain yang baik. Saya tidak menginginkannya. Apa yang paling saya inginkan adalah untuk mendapatkan kembali rasa kecukupan hati yang pernah saya miliki pada hari- hari sebelumnya. Ketika saya tak punya uang, ataupun cara- cara untuk mendapatkan sesuatu, itulah saatnya ketika segala keinginan saya terpenuhi.

Keinginan itu tidak ada batasnya. Bahkan satu juta baht pun tidaklah cukup, pun satu milliar dollar. Namun, “bebas dari keinginan” itu ada batasnya. Itulah saat ketika anda tak menginginkan apa-apa. Rasa berkecukupan adalah satu-satunya saat tatkala hati anda merasa cukup.

Sumber: Buku Membuka Pintu Hati oleh Ajahn Brahm

Jangan Lengah!!

Alkisah di negara bagian Tiongkok, hiduplah seorang perdana mentri tua yang bijaksana. Ia memerintah dengan bijaksana sehingga raja senang dengannya.
Suatu hari datang seorang tua ke rumah perdana mentri itu. Orangtua itu bertanya kepada sang perdana mentri,”Tahukah anda bahwa ada 3 hal yang dibenci orang?”. Sang perdana mentri menjawab,”Tidak,saya tidak tahu.Katakanlah.”
”Jika pangkatmu tinggi,yang lain akan iri. Jika kekuasaanmu besar, pejabat lain akan membencimu. Jika kamu kaya raya, akan selalu timbul kebencian.” Jawab orang tua tersebut.

Kemudian sang Perdana mentri merenung dan bertekad,”Makin tinggi pangkatku,makin rendah hatiku. Makin besar kekuasaanku,makin cermat diriku. Makin kaya diriku, makin murah hatiku. Bertindak seperti ini, mungkin saya bisa terhindar dari 3 alasan kebencian orang.”
Dan kemudian sang perdana mentri melanjutkan kehidupan dan pekerjaannya hingga ia semakin tua dan mulai menjelang ajal.

Diatas kasurnya, sang perdana mentri tua berwasiat kepada anak-anaknya,”Setelah aku mati, raja pasti akan menawarimu sebuah anugrah / hadiah sebagai penghormatan atas diriku. Jangan menerima tanah yang secara strategia amat berguna. Pilihlah tanah tah berguna bernama bukit kuburan. Tempat tersebut memang tidak seberapa berguna, tetapi dapat dimiliki lama.”
Dan tak lama kemudian sang perdana mentri wafat. Sesuai perkiraan sang perdana mentri, raja menawarkan hadiah berupa tanah yang sangat subur dan berguna kepada anak-anak sang perdana mentri tersebut, tetapi sesuai wasiat ayahnya, anak-anak tersebut memilih tanah bernama bukit kuburan sebagai hadiah mereka.

Bertahun-tahun kemudian, para pejabat mulai berebut kekuasaan dan tanah sehingga mereka mulai berperang satu sama lain, termasuk memperebutkan tanah yang berguna yang pernah ditawarkan raja kepada keturunan mantan perdana mentri. Akibatnya, negara tersebut menjadi kacau balau. Rajapun marah besar, dihukum matilah semua pejabat yang berperang beserta sanak keluarga mereka. Sementara itu, keluarga perdana mentri hidup berkecukupan dan tinggal di bukit kuburan tersebut hingga bergenerasi-generasi berikutnya.

Pesan moral:
Memiliki kedudukan yang tinggi, kekuasaan yang besar dan kekayaan adalah impian setiap orang. Raihlah hal itu dengan jalan yang benar, manfaatkanlah untuk kebahagiaan keluarga dan orang-orang di sekitar kita. Tapi jangan lengah! Waspadalah agar kebahagiaan tersebut tidak berbalik menjadi sebuah penderitaan.